PENGAWASAN PEMILU 2019 DALAM ANCAMAN DEGRADASI DEMOKRASI
|
A. PENDAHULUAN
Tantangan dalam Pemilu tahun 2019semakin berat dikarenakan Pemilu 2019 dilaksanakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DRPD dan Anggota DPD secara serentak. Tentunya penyelenggara Pemilu (KPU, BAWASLU, DKPP) harus memberikan perhatian dan tenaga lebih untuk terus berupaya menghasilkan Pemilu yang Jurdil demi terciptanya pondasi demokrasi yang kuat.
Namun, di sisi lain bangsa ini harus menerima pil pahit bahwa indeks demokrasi Indonesia pada kuartal pertama 2019 dinyatakan turjun bebasmelalui rilis oleh Badan Pusan Statistik Indonesia, The EconomistIntellegence Unit dan Freedom House. Diperkirakan akan semakin buruk mengikuti rangkaian Pemilihan Umum Tahun 2019.
B. Pengawasan Pemilu dan Indeks Demokrasi Indonesia
Tentunya kita akrab dengan logika sederhana bahwa Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung merupakan bukan hanya sekadar pesta rakyat, melainkan juga bentuk paling kongkrit dalam penerapan demokrasi. Namun, nyatanya indeks keberhasilan demokrasi sebuah negara tidak dipahami pola piker yang ringkas. Tulisan ini akan melakukan komparasi antara indeks demokrasi yang umum dipakai oleh dunia dengan fakta lapangan, catatan jurnalistik ditambah pula dengan opini dari penulis.
The Economist Intellegence Unit, memberikan klasifikasi indeks demokrasi sebuah negara dalam 5 (lima) poin, yaitu: proses elektoral dan pluralisme; partisipasi politik; keberfungsian pemerintahan; kultur politik; serta kebebasan sipil. 5 poin tersebut harus menjadi perhatian khusus dalam pengawasan Pemilu
- Proses Elektoral dan Pluralisme
Elektoral merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan kompetisi memilih dan dipilih. Sementara demokrasi menurut Larry Diamond (2003) dalam Developing Democracy Toward Consolidationadalah sistem konstitusional yang menyelenggarakan pemilu multi partai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif. Sederhananya, memahami demorkasi elektoral adalah sebuah sistem dalam kompetisi dalam perebutan suara pemilih untuk kursi legislatif maupun eksekutif.
Pelanggaran Pemilihan Umum terbagi ke dalam 3 klasifikasi yaitu; Pelanggaran Administrasi Pemilu; Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu; serta Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Bawaslu berhasil mengungkap 533 Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu. 21% diantaranya telah dijatuhi vonis hukuman oleh pengadilan. Di samping itu, Bawaslu menerima 5013 laporan pelanggaran dalam periode kampanye di media sosial dengan 42 akun di-Take Down. Mayoritas akun yang di-Take Down merupakan akun yang terbukti memproduksi hoax sebagai upaya polarisasi pemilih.
Keberhasilan sebuah proses elektoral tidak seharusnya diukur melalui banyaknya pelanggaran Pemilu yang ditindak. Banyaknya pelanggaran menjadi bukti bahwa bangsa ini masih memiliki masalah dalam membangun sebuah iklim kompetisi yang jujur dan adil.
Tentunya kita harus angkat topi terhadap upaya Bawaslu dalam menuntaskan segala bentuk pelanggaran Pemilu. Namun, adalah sebuah pembenaran mutlak ketika keberhasilan proses elektoral tercapai apabila jumlah pelanggaran Pemilu mendekati titik nol. Bukan karena tidak adanya ruang dalam pengaduan, melainkan terjadi karena kompetisi yang sehat. Ini menjadi kritik bersama bagi pengawas Pemilu untuk lebih meningkatkan kegiatan pencegahan sehingga tidak banyak dugaan pelanggaran yang sampai dalam tahapan penindakan.
2. Partisipasi Politik
KPU menyebutkan adanya peningkatan partisipasi pemilih meningkat dari 70% dalam Pilpres 2014, 75% dalam Pileg 2014, menjadi 81% dalam Pemilu serentak tahun 2019. Namun dalam melihat indeks demokrasi Indonesia, partisipasi politik tidak boleh dipersempit hanya sebatas nominal angka di atas kertas berdasarkan jumlah pemilih yang mau mengalokasikan suara. Partisipasi politik juga harus mengukur sejauh mana pendidikan politik telah dilaksanakan. Kita tentu sama-sama mengakui daya kritis masyarakat terhadap politik selama Pemilu serentak tahun 2019 mengalami peningkatan yang signifikan. Namun, belum tentu adanya linearitas dalam pendidikan politik yang diterima masyarakat.
Banyaknya kasus penyebaran hoax dalam Pemilu serentak tahun 2019 membuktikan bahwa mayoritas masyarakat bukanlah produsen pemikiran, melainkan berperan sebagai konsumen dalam penyebaran hoax tersebut.
Menyikapi hal ini, kita tidak seharusnya hanya berfokus kepada kinerja pengawas Pemilu dalam memberantas kasus hoax, perlu adanyakesadaran dan upaya yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat untuk membentengi diri mereka dalam menelan sebuah informasi.
3. Keberfungsian Pemerintah
Senada dengan pembahasan di atas, pendidikan politik kepada masyarakat, selain menjadi kewajiban setiap individu, juga merupakan “PR” penting bagi pemerintah. Pendidikan politik adalah media utama dalam penyampaian pesan, nilai dan ideologi kepada masyarakat.
La Ode Muhammad selaku Direktur Poldagri mengemukakan gagasannya perihal pendidikan politik,bahwa dengan memahami demokrasi (melalui pendidikan politik), akan menciptakan keinginan masyarakat dalam menciptakan sebuah toleransi dan turut serta mengawasi pergantian kepemimpinan secara teratur tanpa kekerasan demi tegaknya keadilan.
Kendati pendidikan bukanlah merupakan tugas tunggal dari pemerintah, namun pemerintah harus menjadi penanggung jawab dan bekerja sama dengan penyelenggara Pemilu. Berbagai upaya dan evaluasi harus dilakukan berkala agar tingginya kuantitas pemilih dapat beriringan dengan kualitas pemilih.
4. Kultur Politik
Orientasi budaya politik yang menjadi tren di Indonesia sangat berorientasi terhadap kekuasaan elit politik. Inilah yang menjadi dalang dalam pelemahan struktur demokrasi. Kita boleh saja senang dengan teriakan bahwa kita telah menjadi negara dengan budaya politik partisipan, namun praktik patrimonial tidak mampu menyingkir begitu saja. Budaya politik patrimonial ini sudah mandarah daging sejak masa kolonial dan diiringi oleh praktik yang tak jauh berbeda pada rezim Orde Baru.
Meskipun patrimonial tidak hanya menyoal politik elektoral, namun bukanlah sebuah kesalahan apabila kita menganggap praktik patrimonial politik merupakan salah satu tersangka dalam kecurangan dalam Pemilu. Jika pemerintahmelalui penyelenggara Pemilu tidak menjadikan patrimonial menjadi musuh Bersama, kesalahan-kesalahan yang sama akan terus terjadi dalam birokrasi penyeleggara Pemilu, pun dalam praktek Pemilu.
5. Kebebasan Sipil
Ujaran kebencian dapat mengancam nalar masyarakat dalam menentukan pilihan politik mereka. Namun, di sisi lain, “karet”nya penafsiran dalam ujaran kebencian ini menjadi sebuah tanda tanya bagi publik yang harus segera diberikan penegasan. Itulah mengapa kebebasan sipil merupakan sebuah dilema apabila kita menjadikan kebebasan sipil menjadi bahasan dalam Pemilu serentah tahun 2019.
Demokrasi menjamin hak setiap warga negara untuk berserikat dan juga berpendapat, namun kebebasan tersebut nyatanya menjadi tameng bagi para pelaku penyebaran hoax untuk beroperasi.
Kinerja pengawas Pemilu dalam merespon laporan-laporan masyarakat, dibuktikan dengan tidak sedikitnya penindakan yang dilakukan dan take-down beberapa akun di media sosial. Hanya saja, sebagai kritik kita bersama, perlu adanya desakan terhadap pencetus kebijakan untuk kembali memberikan tafsir ulang yang jelas mengenai batasan dalam kebebasan sipil.
C. Kesimpulan
Kita patut berbangga atas telah terselenggaranya Pemilu serentak Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD dan DPD. Namun,berdasarkan kualitas pemilih yang masih jauh dari kata baik, polarisasi pemilih, penyebaran hoax, budaya patrimonial hingga kebebasan sipil yang masih belum menemukan ketegasan, tidak berlebihan rasanya apabila kita harus legowo mengakui demokrasi kita berada dalam ancaman degradasi.
Semoga tulisan ini mampu menjadi bahan evaluasi bersama bagi kita semua demi kokohnya demokrasi di Indonesia.
Editor : M Ervin