Lompat ke isi utama

Berita

Membedah Politik Uang Dan Oligarki Politik Dalam Pemilu

Kamis, 23 Juli 2020 Bawaslu Kota Adm. Jakarta Pusat telah melaksanakan Webinar dengan judul “Arah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu ke Depan untuk Pilkada DKI Jakarta dalam Penegakkan Hukum Politik Uang di Wilayah Kota Adm. Jakarta Pusat. Webinar tersebut berlangsung dari pukul 13.30 s.d 16.00 dan merupakan edisi kedua dari Webinar sebelumnya yang mengangkat tema mengenai pengawasan Pemilu.

            Webinar tersebut dibuka langsung oleh M.Halman Muhdar selaku Ketua Bawaslu Kota Adm. Jakarta Pusat yang kemudian langsung dilanjutkan pemaparan materi oleh narasumber antara lain; H. Arwani Thomafi (Wakil Ketua Komisi II DPR RI), Dr. Wirdyaningsih, S.H., M.H (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) serta Puadi, S.Pd., M.M (Anggota Bawaslu DKI Jakarta).

Webinar ini berangkat dari kesadaran jajaran Bawaslu Kota Adm. Jakarta Pusat bahwa pengawasan Pengawasan merupakan keharusan, bahkan merupakan elemen yang melekat kuat pada tiap penyelenggaraan pemilu. Pengawasan pemilu sebagai proses sadar, sengaja, dan terencana hakikat demokratisasi dengan kehendak yang didasari perhatian luhur demi pemilu yang berkualitas.

Maraknya praktek politik uang perlu kiranya dilakukan pencegahan secara maksimal dan pencegahan ini harus melibatkan masyarakat sebagai subjek pencegahan bukan objek praktek politik uang. Politik uang tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan hukum semata, namun perlu langkah-langkah pencegahan yang optimal dan berkesinambungan. Apalagi modus praktik politik uang menjadi semakin berkembang dimasyarakat ada politik prabayar dan politik uang pasca bayar. Maka perlunya beberapa langkah yang dapat dilakukan pengawas pemilu untuk mencegah terjadinya politik uang dan oligarki politik. Untuk menunjang langkah tersebut maka dibuatlah web seminar ini untuk memberikan pemahaman dengan tujuan mengedukasi masyarakat tentang pengawasan terhadap politik uang dan oligarki politik.

            M.Halman Muhdar dalam sambutannya menyampaikan bahwa seluruh jajaran penyelenggara Pemilu tentunya memerlukan gagasan tambahan mengenai pencegahan politik uang. Politik uang akan membawa dampak yang tidak dapat disepelekan. Diharapkan pelaksanaan Webinar tersebut dapat memberikan seluruh peserta informasi tambahan mengenai perkembangan Undang-Undang Kepemiluan terutama pencegahan terhadap momok praktek politik uang.

            Narasumber pertama Bapak Puadi, S.Pd., M.M, menyampaikan materinya bahwa DKI Jakarta pernah memiliki potret terjadinya praktek politik uang dalam Pemilu. Politik uang juga menjadi “cilaka” bagi penyelenggara Pemilu mengigat ini adalah pertaruhan perihal integritas dalam bekerja. Bahkan, Ketika seorang penyelenggara Pemilu pun sudah berusaha keras dan sedemikian rupa dalam memberantas politik uang, praktik haram tersebut tetap saja dapat terjadi dengan celah-celah yang ada.

            Ada beberapa pergeseran peraturan mengenai mekanisme penanganan pelanggaran Pemilu dalam Undang-Undang:

  1. UU No. 10 Tahun 2016 (Pilkada)
  2. UU No. 7 Tahun 2017 (Pemilu)
  3. RUU Pemilu

Dalam perubahan peraturan perundang-undangan tersebut ada beberapa hal yang berubah seperti pintu masuk penanganan pelanggaran maupun waktu penanganan pelanggaran. Seperti halnya waktu penanganan pelanggaran, Bawaslu sebagai salah satu penyelanggara Pemilu pasti merasakan kewalahan dengan rentang waktu yang dirasa begitu sempit untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada.

Tidak hanya itu, ancaman Pidana yang dapat menjerat pelaku politik uang justru mengalami penurunan dalam RUU Pemilu yang hanya diancam 2 Tahun Penjara dan denda sebanyak 6 juta rupiah. RUU tersebut dikhawatirkan tidak dapat memberi efek jera terhadap pelaku. Serta, subjek yang dianggap pelaku praktek politik uang hanyalah pelaksana kampanye.

Ada beberapa jenis model transaksi politik uang yang harus diantisipasi:

  1. Elite pemilih modal dengan pasangan calon.
  2. Pasangan calon terhadap partai politik (mahar politik)
  3. Pasangan calon terhadap penyelenggara Pemilu
  4. Pasangan calon dengan pemilih
  5. Oknum kepala daerah dengan hakim konstitusi

Selanjutnya terhadap Narasumber kedua yaitu ibu Dr. Wirdyaningsih, S.H., M.H menyampaikan bahwa Politik uang dikaitkan dengan oligarki politik merupakan sebuah cerita yang panjang. Kaitan dua variable tersebut dapat diartikan sebagai sekelompok orang (elit) kecil yang dapat menguasai masyarakat dengan menggunakan politik uang sebagai kendaraan.

            RUU Pemilu sebenernya memiliki semangat dalam membatasi praktek politik uang melalui pembatasan dana kampanye dan orang yang dapat menyumbang dana kampanye. Akar masalah dalam politik uang sebenarnya adalah Ketika uang dimanifestasikan untuk memperoleh kekuasaan bahkan dengan menukar hal non fisik misalnya kesetiaan dan pertemanan. Terlebih lagi, uang dapat membuat seseorang menggadai idealismenya. Kapabilitas uang yang dapat menjadi nilai tukar ini akan membuat oligark yang memiliki sumberdaya ini dapat menjadi penguasa yang mendapatkan kuasa tidak melalui cara yang demokratis.

            Oligark yang naik tahta melalui praktik politik uang akan membuat budaya ini terus merembet kepada praktek-praktek haram selanjutnya seperti penentuan vendor atau tender dalam proyek pemerintah dan pembuatan kebijakan. Serta tidak menutup kemungkinan juga praktek politik uang menjadi tunas pembentukan politik keluarga atau biasa disebut dinasti politik.

            Kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan Pemilu antara lain merupakan dampak dari penerapan system proporsional terbuka antara lain:

  1. Menjamurnya jual-beli suara.
  2. Melemahkan partai politik dalam Pemilu.
  3. Membuat persaingan menjadi tidak sehat.

Penyebab politik uang tidak dapat hilang di Indonesia antara lain adalah ekonomi, politik, hukum dan budaya. Politik uang yang dianggap sudah menjadi budaya membuat praktek haram tersebut terkesan “biasa” dan tidak perlu diberantas.

Solusi dalam mengatasi politik uang antara lain ada enam yaitu:

  1. Mencari factor pendorong terjadinya politik uang dan menghilangkan factor-faktor tersebut.
  2. Menciptakan regulasi Pemilu yang jelas dan tegas.
  3. Penyelenggara Pemilu serta apparat penegakan hukum yang berintegritas, memiliki komitmen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
  4. Mengoptimalkan penegakan hukum (Sentra GAKKUMDU harus dievaluasi)
  5. Pengawasan dan pencegahan politik uang yang terkoodinir antar parpol pesert Pemilu, penyelenggara Pemilu dan Masyarakat.
  6. Pendidikan politik pada masyarakat dengan menggandeng partai politik untuk mencerdaskan masyarakat dalam hal pencegahan tindak pidana politik uang dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan Pemilu yang demokratis.

Terakhir materi dibawakana oleh Bapak H. Arwani Thomafi bahwa jika ditanya kepada hati Nurani, tentunya sebagai manusia, semua orang pasti menginginkan penghapusan praktek politik uang. Namun, praktek tersebut harus diakui sudah menjadi rahasia umum terlebih di lingkungan politisi, oknum penyelenggara Pemilu, bahkan beberapa masyarakatpun merasakan nikmat sesaatnya.       Namun, berbeda dengan sebelumnya praktek tersebut tidak lagi dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, melainkan sudah sangat terbuka. Masyarakat malah sudah berani memberikan tarif untuk menjual suaranya kepada politisi.

            Sistem proporsional tertutup berubah menjadi proporsional terbuka sudah memberikan perubahan yang sangat banyak dalam demokrasi di Indonesia. Proporsional terbuka membuat program-program non materi tidak lagi popular di kalangan politisi dalam melaksanakan kampanye. Bahkan, 2014 dapat dikatakan menjadi puncak dimana kampanye dengan penyampaian visi-misi sudah tidak lagi disukai, orientasi Pemilu sangat materil dan budaya politik dalam Pemilu berubah.

            Pergeseran tersebut juga merubah “syarat” menjadi seorang pemimpin. Jika dahulu calon pemimpin adalah orang yang mampu berdebat, adu gagasan dan punya wacana hebat, proporsional terbuka melahirkan politik yang berbiaya tinggi dan menjadi kaya sudah mencukupi “syarat” menjadi seorang pemimpin. Trend ini memaksa politisi untuk mengikuti arus. Kendati Adapun seorang calon pemimpin yang berapi-api dan dirasa memiliki modal linguistik, sang calon pemimpin tersebut tetap harus memikirkan transport peserta dan sebagainya.

            Setidaknya ada tiga komponen penting untuk menciptakan Pemilu yang lebih beradab:

  1. UU Pemilu dan UU Partai Politik
  2. Penyeleggara dan Peserta Pemilu
  3. Pemangku Kepentingan dan Masyarakat Pemilih.

Harus ada formula yang bagus untuk melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap tiga komponen tersebut. Ideologi dalam perbaikan tiga komponen tersebut haruslah kesejahteraan masyarakat, bukan kelompok. Hal tersebut harus didobrak bersama, karena praktek politik uang yang sudah dianggap lumrah tersebut tidak hanya merugikan masyarakat, namun juga kepada orang yang mencalonkan dirinya di dalam Pemilu. Karena, sejatinya Partai Politik juga pasti terbuka untuk membantu dalam memberantas politik uang.

editor : Earvin

Tag
Informasi Publik